Semarang – BPOM menyelenggarakan kegiatan Intensifikasi Asistensi Regulatori Obat Terpadu bertema “Asistensi Regulatori Obat–Mendorong Kemandirian Obat yang Aman, Berkhasiat, dan Bermutu dalam Mendukung Asta Cita” yang berlangsung selama 3 hari pada Senin--Rabu (28--30/4/2025). Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari program serupa yang sukses digelar tahun sebelumnya di Surabaya. Kegiatan bertujuan untuk terus menjamin ketersediaan obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu melalui pendekatan regulasi berbasis pengawasan siklus penuh, mulai dari pre-market hingga post-market.
Taruna Ikrar dalam sambutannya yang disampaikan secara daring menegaskan komitmen untuk terus melakukan pendekatan regulasi berbasis pengawasan siklus penuh. “BPOM berkomitmen menjamin obat aman, berkhasiat, dan bermutu melalui pengawasan siklus produk dari pra hingga pasca-pasar, serta melalui pendampingan dan pembinaan, bukan sekadar penegakan hukum,” tuturnya.
Sejalan dengan itu, Taruna Ikrar mengungkapkan pentingnya akselerasi inovasi di sektor farmasi nasional, mengingat bahwa sebagai akibat perubahan global, 65% produk farmasi kini berbasis produk biologi. “Untuk itu, BPOM telah menerbitkan Peraturan Nomor 8 Tahun 2025 mengenai akselerasi advanced therapy medicinal products (ATMPs) serta mempercepat proses persetujuan izin edar dari 120 hari menjadi 90 hari kerja,” tambahnya. Tujuan percepatan kemandirian itulah yang mendasari BPOM memberikan asistensi regulatori secara intens kepada industri farmasi.
Pada kegiatan hari pertama, dilaksanakan desk asistensi sejak pagi hingga sore hari. Secara paralel, dilaksanakan pula forum komunikasi antara BPOM bersama pelaku usaha melalui kegiatan “OBRAS CARI BATIK” (Obrolan Asyik Cara Distribusi Obat yang Baik). Selain itu, BPOM menyediakan desk konsultasi sebagai upaya jemput bola terhadap kebutuhan pelaku usaha, yang mencakup desk registrasi obat, desk sertifikasi cara pembuatan obat yang baik (CPOB), desk cara distribusi obat yang baik (CDOB), serta desk evaluasi iklan dan mutu obat.
Hari kedua menjadi hari puncak kegiatan. Pada hari ini, BPOM menyerahkan Sertifikat CPOB kepada 6 industri farmasi, Sertifikat CDOB kepada 5 pedagang besar farmasi, serta izin edar kepada 20 industri farmasi. Penyerahan dilakukan oleh Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Rita Mahyona.
Saat menyampaikan pengantar kegiatan, Rita Mahyona menekankan pentingnya kegiatan ini sebagai sarana membangun komunikasi 2 arah antara regulator dan pelaku industri farmasi. "Kegiatan ini bukan formalitas, melainkan wujud keterlibatan BPOM untuk membangun dialog aktif, menyerap aspirasi, tantangan, serta harapan pelaku usaha. Kami ingin mencegah corrective and preventive action (CAPA) berulang dan mempercepat penyelesaian kendala," tukasnya.
Kegiatan BPOM ini diselenggarakan atas kerja sama dengan Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), khususnya GPFI Provinsi Jawa Tengah. Ketua GPFI Provinsi Jawa Tengah Andre Widjajanto turut memberikan sambutan dan menegaskan komitmennya bersama industri farmasi di Jawa Tengah untuk terus meningkatkan kualitas dan kemandirian dalam produksi obat-obatan. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam mencapai kemandirian farmasi nasional.
Andre Widjajanto juga mengapresiasi BPOM atas penyelenggaraan kegiatan asistensi ini. Ia menilai forum ini efektif untuk menyampaikan masukan dan berdiskusi mengenai tantangan yang dihadapi industri farmasi di Jawa Tengah. Ia berharap kegiatan ini dapat menghasilkan solusi yang konstruktif dan aplikatif.
Saat ini, BPOM sebagai anggota Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme (PIC/S) sedang mengajukan diri sebagai WHO Listed Authority (WLA). Ini menjadi bagian dari strategi besar meningkatkan daya saing industri farmasi nasional di kancah global. Untuk tujuan ini, BPOM terus mengajak industri farmasi untuk terus menjalankan usahanya dengan mematuhi regulasi yang berlaku.
Melalui kegiatan Intensifikasi Asistensi Regulatori Obat Terpadu ini, BPOM menegaskan kembali komitmennya untuk senantiasa mendampingi pelaku industri farmasi. Pendampingan dilakukan agar industri farmasi mampu memahami dan mematuhi regulasi untuk menuju tata kelola yang semakin profesional, akuntabel, dan berorientasi pada perlindungan kesehatan masyarakat.
Kegiatan ini diharapkan menjadi salah satu langkah konkret dalam memperkuat ekosistem farmasi nasional, meningkatkan transparansi layanan publik, dan mempercepat tercapainya kemandirian obat nasional. Forum ini juga menjadi wadah yang tepat bagi pelaku usaha untuk menyampaikan masukan dan membangun dialog konstruktif demi menciptakan sistem pengawasan yang tangguh di lapangan. (HM-Rasyad)
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat