Jakarta - Epidemi konsumsi rokok telah mengakibatkan dampak yang luar biasa, tidak hanya menurunkan derajat kesehatan personal dan masyarakat tapi juga mengakibatkan kerugian di bidang ekonomi dan sosial. Selasa (25/06) Kedeputian Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif (ONPPZA) atau Kedeputian I menyelenggarakan acara Focus Group Discussion (FGD) Sinergi Pengawasan Produk Tembakau. Plt. Deputi I, Reri Indriani membuka acara yang dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Koordinator Perekonomian, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Perindustrian, Badan Narkotika Nasional, Kantor Staf Kepresidenan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Perwakilan Pemerintah Daerah, Perwakilan dari Akademisi dan Praktisi Kesehatan, dan Perwakilan dari Civil Society.
Berdasarkan data dari berbagai survei (SKRT 1995, Sukernas 2001, 2004; Riskesdas 2007,2010, 2013; dan Sirkesnas 2016), perokok pemula di kalangan remaja kecenderungannya menjadi tidak terkendali. Konsumsi rokok pada usia remaja meningkat lebih 3 kali lipat dari tahun 1995. Hal ini sangat memprihatinkan karena dapat mengakibatkan Indonesia akan kehilangan generasi muda yang sehat dan produktif. Selain rokok konvensional, konsumsi rokok elektronik di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia dengan kebijakan terkait produk tembakau dan Hasil Produk Tembakau Lainnya/HPTL (rokok elektronik dan heated tobacco) yang relatif lebih longgar dari negara lain, Indonesia menjadi target pemasaran yang menggiurkan atas produk-produk tersebut. Promosi dan iklan melalui media sosial dan majalah yang mempersepsikan sebagai rokok alternatif, lebih aman dan lebih sehat, menjadikan penjualan rokok elektronik semakin marak di Indonesia.
Plt. Deputi I menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada kebijakan yang lebih komprehensif dari sisi perlindungan kesehatan masyarakat, persyaratan/standar, dan dampak sosial, sehingga diperlukan peninjauan kembali tentang kebijakan yang sudah ada saat ini dan mengusulkan kebijakan yang lebih baik dan komprehensif.
“Banyak negara yang sudah melarang penjualan dan pemasaran rokok elektronik, totalnya ada 32 negara yang melarang. Di Kanada, Denmark, Belanda, dan Amerika bila ingin digunakan sebagai terapi berhenti merokok harus mendapat persetujuan sebagai obat dari otoritas. Dan saat ini belum ada negara yang menyetujui rokok elektronik digunakan sebagai terapi berhenti merokok," ungkap Reri Indriani pada pembukaan acara tersebut.
FGD ini dimaksudkan untuk mendapatkan persamaan persepsi tentang HPTL, brainstorming dalam rangka menampung masukan dari Pegiat Pengendalian rokok dan kementerian/lembaga serta mencari solusi terhadap permasalahan HPTL. Selain itu, FGD diharapkan juga dapat menjadi forum komunikasi dan koordinasi dengan lintas sektor terkait terutama dalam mengawal isu yang berkembang terkait produk HPTL dan juga menyatukan komitmen dalam pengendalian Produk Tembakau termasuk HPTL. (HM-Tri K).
Biro Hubungan Masyarakat dan Dukungan Strategis Pimpinan.