Dewasa ini penyalahgunaan bahan-bahan narkotika-psikotropika telah menjadi permasalahan global yang mengancam kehidupan masyarakat. Kekhawatiran ini menjadikan masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adaktif sebagai musuh dunia yang harus diperangi bersama. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988 (United Nations Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropics Substances, 1988) merupakan wujud keprihatinan internasional atas meningkatnya produksi, peredaran dan penyalahgunaan narkotika-psikotropika di tengah masyarakat. Indonesia sebagai bagian dari komunitas masyarakat internasional yang ikut menggalang solidaritas dan kerjasama dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif telah meratifikasi konvensi tersebut dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropics Substances, 1988 dan menyusun kebijakan nasional di bidang pengawasan narkotika, psikotropika dan zat adiktif dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang - Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
Narkotika dan psikotropika di satu sisi merupakan bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga ketersediaannya perlu dijamin tetapi di sisi lain mempunyai potensi penyalahgunaan yang akan berakibat ketergantungan yang dapat merugikan kesehatan. Manfaat obat-obat golongan psikotropika, terutama golongan IV, secara luas banyak digunakan dibidang psikiatri. Biasanya dipergunakan untuk pengobatan pasien dengan gangguan kecemasan, gangguan fobia, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan konversi, dan lain-lain. Sedangkan obat-obat golongan narkotika, dimanfaatkan di bidang kedokteran sebagai obat nyeri, premedikasi anestesi, obat batuk, dan terapi subsitusi adiksi heroin.
Pada dasawarsa terakhir, tren penyalahgunaan paling banyak justru pada narkotika dan psikotropika yang tidak digunakan dalam dunia medis, seperti heroin (putauw), metamfetamin (shabu/ice), metilendioksimetamfetamin/MDMA (ecstasy, XTC). Penyalahgunaan narkotika psikotropika dapat menimbulkan dampak yang serius terhadap kesehatan fisik dan mental. Dampak tersebut antara lain berupa gangguan fungsi dan kerusakan otak, jantung, ginjal, paru-paru, dan hati. Kerusakan sel otak akibat ketergantungan narkotika tidak dapat dipulihkan.Penyalahgunaan narkotika-psikotropika juga mengakibatkan biaya ekonomi dan sosial yang tinggi bagi negara dan masyarakat karena menyedot sumber-sumber anggaran yang besar untuk pencegahan, penegakan hukum, perawatan dan rehabilitasi penderita.
Hasil survey nasional yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerjasama dengan Pusat Penelitian Pranata, Universitas Indonesia menunjukkan prevalensi penyalahgunaan narkotika-psikotropika di kalangan siswa SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi di 30 ibukota propinsi pada tahun 2003 sebanyak 3,4% dari 13.710 responden dalam setahun terakhir dan 43,4% menggunakan lebih dari satu jenis narkotika-psikotropika. Penelitian tentang Biaya Ekonomi dan Sosial Akibat Penyalahgunaan Narkotika-Psikotropika oleh Pusat Penelitian Kesehatan, Universitas Indonesia pada tahun 2004 ditemukan : 1,5% (3,2 juta) penduduk Indonesia menjadi penyalahguna, 69% menjadi pemakai teratur,
dan 31% mengalami ketergantungan. Dari 69% pemakai teratur sebanyak 71% penyalahguna ganja, 50% metamfetamin (shabu), 42% MDMA (ectasy) dan 22% obat penenang. Sedangkan dari 31% penderita ketergantungan sebanyak 75% ketergantungan ganja, 62% heroin (putauw), 57% metamfetamin (shabu), 34% MDMA (ectasy), dan 25% obat penenang.
Mengapa prekursor harus diawasi ?
Narkotika dan psikotropika illegal tersebut sudah barang tentu tidak diproduksi oleh industri farmasi yang legal melalui proses produksi yang cermat dan memenuhi kaidah Cara Produksi Obat yang Baik, namun dibuat oleh pabrik gelap (clandestine laboratory). Berdasarkan data dari Dit IV/TP Narkoba dan KT Mabes Polri, terdapat peningkatan yang tajam kasus temuan clandestine lab yang memproduksi MDMA (ectasy) dan metamfetamin (shabu) selama 5 tahun terakhir. Selama kurun waktu 2001 – 2006, tercatat 34 clandestine lab ditemukan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia seperti Jakarta, Tanggerang, Surabaya, Sidoarjo, Medan, Tanjung Balai Karimun (Kepri), dan Pangkal Pinang. Kasus terbesar ditemukan di daerah Cikande dengan terdakwa Benny Sudrajat (telah divonis hukuman mati) dan 8 pelaku warga negara asing yang merupakan produsen ketiga terbesar di dunia dengan kapasitas produksi lebih dari 4 juta tablet per minggu.
No | Jenis | Tahun | Jumlah | |||||
2001 | 2002 | 2003 | 2004 | 2005 | 2006 Jan 2007 | |||
1 |
Clandestine Lab | 1 | 2 | 1 | 2 | 10 | 18 | 34 |
% Kenaikan | - | 100 | - 50 | 100 | 400 | 80 | 570 |
(Sumber : Dit IV/TP Narkoba dan KT mabes Polri, Desember 2006 dan Januari 2007)
Temuan clandestine laboratorium di Cikande tersebut menunjukkan bahwa saat ini Indonesia bukanlah sekedar sebagai wilayah transit dan tujuan pemasaran narkotika dan psikotropika saja, melainkan telah menjadi tempat ideal bagi pelaku kejahatan transnasional yang terorganisir untuk memproduksi narkotika dan psikotropika illegal.
Tumbuh suburnya produksi illegal narkotika, psikotropika dan zat adiktif (napza) di Indonesia tidak terlepas dari mudahnya mendapatkan prekursor. Prekursor merupakan bahan kimia (chemical substance) yang digunakan untuk memproduksi napza yang berdasarkan sifatnya dikategorikan sebagai berikut :
-
Prekursor bahan baku yakni bahan dasar untuk pembuatan narkotika-psikotropika yang dengan sedikit modifikasi melalui beberapa reaksi kimia dapat menjadi narkotika atau psikotropika (prekursor bahan baku misalnya efedrin, pseudoefedrin, fenilpropanolamin/norefedrin);
-
Prekursor reagensia merupakan bahan kimia pereaksi yang digunakan untuk mengubah struktur molekul prekursor bahan baku menjadi narkotika dan psikotropika;
-
Pelarut (solvent) yakni bahan yang ditambahkan untuk melarutkan atau memurnikan zat yang dihasilkan.
Prekursor merupakan bahan kimia yang secara luas digunakan oleh berbagai industri baik skala besar maupun usaha skala kecil untuk berbagai keperluan seperti industri farmasi, kosmetika, makanan, tekstil, cat, termasuk pula proses vulkanisir ban.
Penggunaan prekursor dapat diumpamakan seperti pisau bermata dua. Pada satu sisi, ketersediaan prekursor untuk kepentingan industri dalam negeri harus dipenuhi untuk menjamin keberlangsungan perekonomian negara, namun disisi lain penyimpangan penggunaan prekursor oleh pelaku kejahatan guna memproduksi narkotika dan psikotropika illegal harus dicegah.
Secara internasional prekursor merupakan bahan yang di awasi secara sangat ketat mengacu pada ketentuan internasional yang tercantum Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988 (United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropics Substances, 1988). Prekursor yang diawasi tercantum dalam Red List, yaitu suatu daftar bahan-bahan prekursor yang diawasi secara internasional yang ditetapkan oleh Internasional Narcotics Control Board (INCB), suatu badan internasional yang mengawasi impor, ekspor dan peredaran prekursor antar negara.
Proses impor dan ekspor prekursor antar negara dilaksanakan secara sangat ketat melibatkan seluruh pihak yang berkompeten pada setiap negara. Setiap dokumen yang diterbitkan terkait dalam proses impor dan ekspor prekursor harus melalui proses notifikasi dan konfirmasi antar negara sebelum proses shipment dilaksanakan, hal ini untuk meminimalkan upaya penyelundupan. Berbagai program internasional juga dilancarkan untuk meminimalkan penyelundupan tersebut, antara lain prism project untuk efedrin dan pseudoefedrin (prekursor golongan amphetamin), topaz operation untuk asam asetat anhidrida (prekursor golongan opiat), dan purple operation untuk kalium permanganate (prekursor kokain).
Bagaimana dengan pengawasan prekursor di dalam negeri ? Sampai saat ini belum ada undang – undang khusus yang mengatur prekursor. Undang – Undang No 22 tahun 1997 tentang Narkotika hanya menyebut prekursor pada Pasal 101, pada ketentuan Lain – Lain sedangkan Undang
- Undang nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika hanya mencantumkan masalah prekursor pada pasal 42 - 43. kedua
Undang - Undang tersebut tidak memuat ketentuan lebih spesifik perihal pengaturan prekursor.
Temuan selama ini menunjukkan bahwa suplai prekursor ke clandestine laboratorium terbanyak berasal dari penyimpangan (diversi) prekursor dari jalur resmi ke jalur illegal dengan berbagai modus operandi, antara lain : memanfaatkan celah hukum, pencurian, penyelundupan di pelabuhan/zona bebas, mislabelling, pemalsuan dokumen, pembelian dalam jumlah sedikit, mendirikan perusahaan fiktif, penipuan dengan multi transaksi, penyuapan, alih kepemilikan, dan cash and carry.
Secara resmi, terdapat 23 jenis prekursor yang diawasi oleh pemerintah Indonesia. 23 prekursor tersebut dikategorikan dalam 2 kelompok (tabel 1 dan 2) berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.35.02771 tanggal 4 September 2002 tentang pemantauan dan Pengawasan Prekursor. Badan POM melakukan pengawasan terhadap jenis prekursor. Badan POM melakukan pengawasan terhadap jenis prekursor yang digunakan untuk kepentingan farmasi antara lain : ephedrine, pseudoephedrine, norephedrin, ergometrine, dan ergotamine, sedangkan jenis prekursor lainnya diawasi oleh instansi terkait lainnya.
Jenis-jenis prekursor yang diawasi oleh pemerintah Indonesia
Tabel 1 | Tabel 2 |
|
|
|