Tingkatkan Kompetensi Petugas Instalasi Farmasi Untuk Peningkatan Jaminan Kualitas Obat

24-02-2020 Kerjasama dan Humas Dilihat 3048 kali Pusat Data dan Informasi Obat dan Makanan

Bekasi – Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan mengamanatkan kepada 9 Menteri, Kepala Badan POM, Gubernur, serta Bupati dan Walikota untuk meningkatkan efektivitas dan memperkuat pengawasan Obat dan Makanan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Secara khusus Inpres tersebut menginstruksikan Badan POM untuk mengembangkan sistem pengawasan Obat dan Makanan, serta mengoordinasikan pengawasan Obat dan Makanan dengan instansi terkait di Pusat dan Daerah. Hari ini, Senin (24/02) Badan POM menggelar Forum Komunikasi Pengawasan Distribusi dan Pelayanan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor (ONPP) bersamaan dengan Acara Peningkatan Kompetensi Petugas Instalasi Farmasi Provinsi/Kota/Kabupaten di Hotel Santika Kota Harapan Indah Bekasi. Forum ini dihadiri oleh perwakilan unit kerja di lingkungan Badan POM Pusat, perwakilan Balai Besar/Balai POM/Loka POM, serta instansi terkait di luar Badan POM yaitu Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kementerian Kesehatan, serta 34 orang petugas yang mewakili instalasi farmasi pemerintah di 34 provinsi.

 

Acara dibuka dengan sambutan Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif, Rita Endang yang sekaligus memberikan paparan bahwa industri farmasi dikategorikan sebagai wellness industries dan menjadi industri andalan karena memiliki added value tinggi. Revolusi Industri 4.0 berimplikasi pada otomatisasi dan konektivitas di berbagai bidang, termasuk industri farmasi. Sebagai konsekuensi revolusi industri 4.0, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam perizinan pre-market dan pengawasan post market yang terintegrasi dan serba cepat menjadi kebutuhan.

 

"Dalam forum ini, kita akan fokus pada dua tantangan utama dalam pengendalian kualitas obat. Pertama, era digital membuka jalur peredaran produk secara online. Distribusi melalui online rentan terhadap peredaran produk ilegal dan kejahatan siber. Dan kedua, pentingnya kemitraan yang efektif antara seluruh stakeholder. Khususnya pemerintah dan pelaku usaha guna menjamin keamanan dan mutu obat sepanjang rantai produksi dan distribusi (product life cycle)," ujar Rita Endang. "Untuk menjawab tantangan tersebut dan meningkatkan efektivitas pengawasan pre-market maupun post market, Badan POM mengembangkan berbagai inovasi berbasis TIK," lanjutnya.

 

Selanjutnya pada tahap evaluasi pre-market obat, Badan POM menerapkan sistem registrasi online (e-registration), digital signature, dashboard tracking pelayanan publik, dan integrasi dengan Online Single Submission (OSS). Upaya tersebut dilakukan guna mendukung kemudahan berusaha (ease of doing business) serta mempercepat akses masyarakat terhadap obat yang berkualitas (aman, bermutu, berkhasiat). Di sisi post-market, Badan POM mengembangkan sistem pengawasan berbasis digital, sebagaimana Peraturan Badan POM Nomor 33 tahun 2018 tentang Penerapan 2D Barcode dalam Pengawasan Obat dan Makanan. Melalui aplikasi BPOM Mobile, masyarakat dapat memindai 2D Barcode pada kemasan produk untuk memperoleh informasi terkait identitas dan keaslian produk tersebut. Aplikasi tersebut juga dapat digunakan oleh tenaga kesehatan untuk melaporkan secara real time, apabila mendapati obat yang dicurigai palsu atau ilegal di sarana pelayanannya.

 

Rita Endang juga menjelaskan selain penerapan 2D Barcode, Badan POM membangun sistem pelaporan hulu hilir di bidang obat (e-was dan e-Napza) serta merevitalisasi Sistem Informasi Pelaporan Terpadu (SIPT versi 3.0). "Data yang terkumpul menjadi big data berharga untuk pengambilan keputusan tindak lanjut hasil pengawasan maupun rekomendasi improvement sistem pengawasan ke depan berbasis data,” tuturnya

 

Untuk meningkatkan efektivitas pengawasan obat pada post-market, Badan POM sedang menyusun peraturan pengawasan peredaran obat secara online serta merevisi Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB).  Revisi Pedoman CDOB tersebut akan memfasilitasi proses elektronisasi dan pemanfaatan teknologi dalam pengiriman obat sebagaimana sistem yang telah digunakan pada beberapa Pedagang Besar Farmasi (PBF) nasional. Oleh karena itu Badan POM senantiasa membuka komunikasi dan menjalin kemitraan dengan segenap stakeholder, termasuk Pemerintah Daerah, guna terciptanya sistem pengawasan obat dan makanan yang lebih efektif.

 

Menindaklanjuti Inpres Nomor 3 tahun 2017, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengesahkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 tahun 2018 tentang Peningkatan Koordinasi Pembinaan dan Pengawasan Obat dan Makanan di Daerah. Mendagri juga mengirimkan surat kepada Gubernur tanggal 31 Desember 2018 tentang Pelaksanaan Inpres Nomor 3 tahun 2017 untuk memberikan dukungan pembiayaan, sarana, dan prasarana secara optimal dalam menjalankan Inpres tersebut. Dan sinergisme pengawasan obat di tingkat pusat dan daerah diharapkan semakin baik dengan adanya Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik pengawasan obat dan makanan di 166 Pemerintah kabupaten/kota di 27 Provinsi untuk tahun 2020. Di bidang pengawasan distribusi obat, DAK Non Fisik tersebut digunakan Pemerintah Daerah untuk melakukan pengkajian izin apotek dan toko obat sebagai dasar pengawasan serta peningkatan kompetensi petugas pengelola sarana pelayanan kefarmasian. Balai Besar/Balai POM dan Kantor Badan POM di Kabupaten/Kota agar berperan aktif mensosialisasikan dan mengawal implementasi kegiatan tersebut. Sebagai sarana pertukaran informasi tentang pengawasan antara Badan POM, Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, saat ini telah tersedia aplikasi SMARTPOM. Termasuk informasi pemberian sanksi administrasi kepada sarana distribusi obat dan pelayanan kefarmasian, serta pelaporan pelaksanaan kegiatan DAK.

 

Dalam rangka pengawasan obat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Badan POM sebagai bagian dari Pemerintah harus bermitra menjaga pengelolaan obat di Instalasi Farmasi Pemerintah bersama-sama agar sesuai dengan standar CDOB. Hasil pemeriksaan Badan POM tahun 2019, menunjukkan sebanyak 42 dari 430 Instalasi Farmasi Pemerintah (9,77%) yang diperiksa belum memenuhi ketentuan CDOB. Sharing pengetahuan dan pengalaman serta pertukaran informasi antara Badan POM dengan Instalasi Farmasi Provinsi/Kota/Kabupaten selaku pengelola obat program JKN diperlukan. Agar instalasi farmasi pemerintah memenuhi kriteria CDOB sehingga kualitas obat yang diberikan kepada masyarakat senantiasa terjamin baik.

 

Rita Endang berharap agar seluruh peserta agar berpartisipasi aktif pada forum ini. "Sharing pengetahuan dan pengalaman dalam diskusi interaktif dan konstruktif, semoga semakin membuka wawasan Bapak/Ibu dan mempererat jejaring sebagai upaya peningkatan jaminan kualitas obat yang dikonsumsi masyarakat," tukasnya. Badan POM juga mengharapkan dari kegiatan ini dapat tersusun langkah-langkah strategis dan prioritas dalam pengawasan sarana distribusi dan sarana pelayanan kefarmasian tahun 2020. "Sesuai dengan perkembangan pada era Revolusi Industri 4.0 khususnya diversi obat dari jalur legal ke jalur ilegal maupun sebaliknya. Termasuk mengindentifikasi peredaran obat ilegal, obat palsu dan risiko penjualan obat secara daring.” tutupnya. (HM-Riska)

 

Biro Hubungan Masyarakat dan Dukungan Strategis Pimpinan.

Bagikan:

Klik disini untuk chat via WhatsApp!+
Sarana